The Time Machine (2002)
Suatu hari di kota New York, pada 1899, Alexander Hartdegen menemui kenyataan pahit. Seseorang yang amat dicintainya, Emma, tewas di taman. Berandalan jalanan nekat menghabisi nyawan Emma untuk mendapatkan hartanya yang tak seberapa. Tak ingin tenggelam dalam kesedihan, Alex, penemu sekaligus pengajar Columbia University, New York ini mendedikasikan waktu demi menciptakan sebuah mesin berteknologi tinggi.
Beberapa tahun kemudian, Alex berhasil menciptakan mesin waktu. The time machine. Seperti yang bisa ditebak, dengan mesin waktu ciptaannya, Alex kembali ke hari meninggalnya Emma. Alex ingin menyelamatkan Emma dari pembunuhan itu, sekaligus melangsungkan niatnya untuk memberikan cincin tanda cinta.
Singkat cerita, kembalilah Alex di hari itu. Ia mewanti-wanti Emma agar tidak menunggu di taman – tempat ia (seharusnya) dibunuh perampok. Entah mengapa, hari itu, Alex kembali datang terlambat. Emma memang tidak menunggu di tempat ia dibunuh perampok. Namun, Alex lagi-lagi melihat Emma tewas di depan matanya. Kali ini Emma tak mati karena belati, tapi mobil berkecepatan tinggi. Mobil itu menyeruduk Emma yang tengah menyeberang jalan. Emma (kembali) meninggal.
Sekali lagi, Alex kembali ke laboratorium. Ia bertekad menciptakan mesin waktu yang lebih canggih. Bukannya kembali ke masa lalu, Alex pergi ke masa depan. Ia berkelana ke tahun 2030. Berhari-hari ia berkutat di perpustakaan untuk mempelajari teknologi yang terus berkembang.
Dahaga ilmu tak terpuasakan, ia menyetel mesin waktunya ke masa yang lebih jauh ke depan. Ia rela “terdampar” di tahun 802701, saat Bumi tak lagi berpenghuni, karena ditabrak Bulan, demi memuaskan rasa penasaran akan teknologi mesin waktu. Di tahun itu (siapa bilang 2012 bakal kiamat?), Alex bertemu sekumpulan manusia yang hidup di bawah tanah. Mereka beruntung bisa menyelamatkan diri ke gua bawah tanah saat terjadi tabrakan.
Meski hidup ala makhluk gua di jaman batu, para Morlock ini masih membawa sisa-sisa teknologi canggih. Alex pun menyatakan niatnya untuk menciptakan mesin waktu yang lebih canggih. Namun, the Über-Morlock, salah satu tokoh masyarakat, tidak mengamini niat Alex. Ia mengatakan meski teknologi berkembang pesat, bahkan mampu menciptakan mesin waktu yang jauuuhhh lebih canggih dari yang mampu diciptakan umat manusia, seseorang tak bisa mengubah takdir kematian.
***
Rasanya, terlalu pongah untuk mengaku kisah di atas merupakan karya saya, meski kadang ada keinginan untuk menulis novel tentang mesin waktu. Cerita Alex sang Pelompat Masa ini merupakan tulisan H.G Wells lewat novel fiksi ilmiah The Time Machine. Adaptasi novel ini kemudian diangkat ke layar perak dengan judul sama, pada 2002. Dan, ironisnya, meski saya selalu menyuarakan mengenai penghormatan atas hak atas kekayaan intelektual, saya pun takluk pada cakram padat seharga Rp6.000 yang berisi film tersebut.
Menceritakan kembali isi film itu tentu ada alasan tersendiri. Saya, dan pasti juga banyak orang di planet ini, pasti pernah memiliki keinginan untuk kembali ke masa lalu atau pergi ke masa depan demi sebuah jawaban. Bahkan, di dunia nyata, sejumlah ilmuwan tengah mengembangkan teknologi yang dipercaya bisa melintas dunia paralel dan mampu melintas waktu – seperti yang dilakukan Alex dalam film.
Mengaku saja, demi sebuah jawaban, seseorang pasti sempat memiliki sebersit keinginan menaiki mesin waktu ke masa depan. Dulu, saat sekolah, saya pengen banget punya mesin waktu. Biar saya bisa mengetahui soal ulangan (atau tes atau ujian) yang bakal dihadapi. Kalau saya tahu pertanyaan yang muncul di kertas ulangan, tugas belajar akan lebih mudah. Saya tinggal mempelajari hal-hal yang ada di lembar pertanyaan atau, sekalian saja, bikin contekan jawabannya. Dijamin nilai ulangan bakal 100 terus hahaha.. Sayangnya, keinginan itu tak pernah terkabul. Saya harus belajar untuk menghadapi ujian.
Makin tua, keinginan untuk menaiki mesin waktu masih tersisa. Meski tak separah dulu. Tapi, intinya sama saja, demi mendapatkan jawaban. Misalnya, siapa jodoh kita (curcol detected!), seperti apa kehidupan kita kelak, karir apa yang membuat kita bahagia sejahtera selama-lamanya, sampai ingin tahu apakah proposal proyek penulisan buku yang sedang diajukan disetujui penyandang dana. Sayangnya, Electronic City tak menjual mesin waktu. Keingintahuan semacam itu membuat cenayang, pembaca tarot, dan orang-orang yang punya kemampuan untuk bisa melihat masa depan kebanjiran pasien.
Sebaliknya, saya dan Anda juga pasti pernah memendam keinginan untuk kembali ke masa lalu. Mengenang kenangan. “Jaman dulu lebih enak, tidak seperti sekarang.” Saya yakin satu-dua kali dalam hidup, seorang yang paling bijaksana pun pernah mengatakan hal tersebut. Harga barang tidak semahal sekarang (enakan jaman pak Harto?), kemacetan lalu lintas tidak segila ini, cuaca tidak se-geje saat ini, persaingan bisnis tak separah ini, bla bla bla. Sebut saja yang kita inginkan. Atau, mungkin juga, ada yang punya pikiran sama seperti si Alex. Ingin hidup lebih lama dengan seseorang yang amat kita cintai tapi telah pergi. Halah!
Tapi, bagaimanapun juga kita tidak bisa membalik atau melompati waktu. Suka tak suka, kita hanya bisa menjalani apa yang terjadi saat ini. Whether it’s the great or the worst of times, it’s the only time we’got. Just enjoy it. Because someday somehow we’ll miss the day.
Saya masih ingat betul, saya pernah memasang status “Another day in hell” untuk menggambarkan betapa parahnya pekerjaan saya, pada waktu itu. Pulang kantor jam 2-3 dini hari dan jam 7 pagi harus buru-buru kembali ngantor. Deadline menggila! Saya merasa tak punya kehidupan (pribadi) di masa itu. Tapi di kemudian, saya merindukan masa-masa itu. Punya tim kerja yang kompak, punya atasan yang mengerti dan menghargai isi otak saya, punya pacar ganteng yang setia ‘mengunjungi’ secara virtual setiap hari, tak punya beban pekerjaan setinggi sekarang, dan seterusnya seterusnya seterusnya.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Bisa saja sesuatu yang sekarang bikin enek jadi sesuatu yang enak dan ngangenin di masa depan. Jalani saja hari ini. Do our best and let God do rest. Terdengar klise, memang. Tapi, percaya pada keandalan Sang Maha Sutradara akan memudahkan kita menjadi aktor atau aktris yang baik saat menjalankan peran di film kehidupan ini. Tak seperti skenario sinetron lima ratus episode yang bisa ketebak ending-nya, meski mbulete ra karuan, skenario hidup manusia sungguh luar biasa. Tak mudah ditebak jalan ceritanya, apalagi ending-nya.
Jadi, kalau ditawari mesin waktu, sekuat tenaga saya akan berusaha menjawab ‘pergi’ ke masa kini saja. Bukan masa lalu atau masa depan. Karena di masa sekarang, saat ini, detik ini, kita bisa mengubah masa depan. Tak usah muluk-muluk membayangkan perubahan besar dalam hidup, seperti menjadi CEO di tempat kita bekerja saat ini. Mulai saja dari hal kecil. Hanya dengan menelepon layanan pesan antar restoran cepat saji, misalnya, kita akan mencapai tujuan satu jam ke depan: perut kenyang
0 komentar:
Posting Komentar